EDITORIAL: Rumah Kartu Sepakbola Indonesia

EDITORIAL: Rumah Kartu Sepakbola Indonesia
Rumah Kartu (Ilustrasi). (c) FineArtAmerica

Bola.net - - Oleh: Dendy Gandakusumah

Sepakbola kita merupakan cermin dari wajah negara Indonesia - Timo Scheunemann

Roy Suryo hampir bisa dipastikan tidak sedang bercanda ketika mengaku tak ada klub Indonesia yang bisa memenuhi standar klub profesional yang dipatok AFC (Konfederasi Sepakbola Asia). Meski diiringi gelak tawa, saya yakin pria berdarah biru ini -dia bernama lengkap Kanjeng Raden Mas Tumenggung Roy Suryo Notodiprojo- serius dengan ucapannya.

"Kalau mau sesuai dengan syarat tersebut, nggak ada klub sepakbola Indonesia yang bakal lolos. Bahkan, -Roy menyebut salah satu klub yang terkenal mapan- juga dipastikan nggak akan lolos," ujar pria kelahiran 18 Juli 1968, sembari masih tergelak, Kamis (03/10) lalu.

Saya juga tak bisa mengartikan arti gelak tawa Roy. Namun, yang bisa saya pastikan, kondisi ini tak membuat hati pria yang dikenal sebagai pakar telematika ini risau ataupun galau.

"Saya yakin AFC dan FIFA mengerti dengan kondisi sepakbola kita. Saya yakin akan ada toleransi," tegasnya.

Jujur, alih-alih menenangkan, pernyataan Roy ini justru membuat saya ngenes. Bagaimana bisa sosok -yang menurut Undang-Undang Sistem Keolahragaan Nasional- berwenang dan berkewajiban mengatur, membina, mengembangkan, melaksanakan, dan mengawasi penyelenggaraan keolahragaan secara nasional, bisa dengan enteng berkata seperti itu.

Saya bukan ahli nujum atau peramal. Tapi, dalam pikiran saya, dengan meremehkan pentingnya pondasi lima aspek profesional ini, bangunan sepakbola ke depannya bakal tak lebih dari rumah kartu belaka. Terkesan rumit, cantik, menarik namun rapuh. Sedikit guncangan akan membuat bangunan rumah kartu ini berantakan.

Bagi Indonesia sendiri, lima aspek klub profesional yang diminta AFC - legalitas, finansial, infrastruktur, sporting dan personal- bukanlah hal baru. Sejak 2008 lalu, AFC telah melakukan sosialisasi. Namun, rezim yang berkuasa waktu itu (meng)abai(kan) hal ini.

Sosialisasi ini diulang AFC dalam acara AFC Club Assessment Workshop, 3 Agustus 2011 lalu. Dipimpin Direktur Kompetisi mereka, Suzuki Tokuaki, AFC kembali menegaskan pentingnya lisensi profesional bagi klub-klub peserta kompetisi. Bahkan, pada acara yang digelar di Hotel Sahid ini, pria asal Jepang tersebut juga telah menyebut segi legal, finansial dan infrastruktur sebagai hal yang menjadi momok terbesar di sepakbola Indonesia, meski rezim penguasa PSSI telah berganti.

Saya sepakat dengan Roy Suryo, tak ada klub yang saat ini bisa memenuhi lima aspek tersebut. Namun, menurut saya, lima aspek klub profesional ini bukanlah hal yang tak mungkin untuk dipenuhi.

Roy, dalam pandangan saya, lebih bertindak sebagai politikus ketimbang olahragawan. Alih-alih mau bekerja keras meraih prestasi tertinggi, dalam hal ini memenuhi lima aspek klub profesional, politisi Partai Demokrat ini justru menggunakan cara pandang politisi bahwa semua bisa dinegosiasikan dan dicari permaklumannya.

Padahal, jika seorang Roy Suryo mau berpegang pada aturan tersebut -juga jika AFC dan FIFA konsisten menegakkan aturan tersebut- tak perlu ada masalah menentukan peserta kompetisi musim depan misalnya. Tak perlu ada perdebatan mengenai keadilan konsep 18+4, sesuai keputusan KLB Hotel Borobudur, yang dinilai mencederai semangat unifikasi dan rekonsiliasi. Cukup kembalikan saja pada aturan. Hanya klub yang telah memenuhi standarisasi ini yang bisa mengikuti kompetisi musim depan.

Sayang, Roy Suryo tak mau menempuh jalan yang biasa ditempuh jalan olahragawan, dalam membangun pondasi kuat bagi masa depan sepakbola kita. Dia lebih memilih membangun rumah kartu bagi sepakbola Indonesia. Terlihat rumit, berliku, njlimet, namun rapuh, bak nasib koalisi di ladang politik.