Nostalgia: John Terry, Satu Tendangan, Seribu Penyesalan

Gia Yuda Pradana | 11 Juli 2025 10:49
Nostalgia: John Terry, Satu Tendangan, Seribu Penyesalan
John Terry berpose dengan para pendukung Chelsea Indonesia seusai Fun Football, Sabtu (13/11/2022) (c) Bola.net/Bagaskara Lazuardi

Bola.net - Malam itu di Moskow, Chelsea nyaris meraih kejayaan Eropa untuk pertama kalinya. Di hadapan puluhan ribu pasang mata dan hujan yang mengguyur tanpa henti, John Terry melangkah ke titik putih dengan takdir di ujung sepatunya. Jika berhasil, ia akan dikenang sebagai kapten legendaris yang membawa The Blues ke puncak Eropa.

Namun, nasib punya cara kejam untuk menguji keberanian. Kakinya terpeleset, bola meluncur keluar, dan sejarah berubah arah. Manchester United yang akhirnya keluar sebagai juara, sementara Chelsea kembali ke London dengan hati remuk dan mata sembab.

Advertisement

Lebih dari sekadar kegagalan penalti, malam itu menjadi simbol dari betapa tipisnya batas antara kejayaan dan kehancuran. John Terry, sang kapten yang gagah, malam itu justru jadi wajah kegagalan.

1 dari 4 halaman

Final Pertama, Luka Pertama

Final Liga Champions 2008 adalah momen monumental. Dua tim asal Inggris bertarung untuk supremasi Eropa, menjadikan pertemuan Chelsea dan Manchester United di Luzhniki Stadium sebagai final sesama negara ketiga dalam sejarah. Bagi Chelsea, ini adalah momen pembuktian setelah bertahun-tahun mengejar mimpi.

Manchester United membuka skor lewat Cristiano Ronaldo, lalu Frank Lampard menyamakan kedudukan menjelang turun minum. Laga berjalan ketat, bahkan Didier Drogba harus diusir keluar lapangan karena menampar Nemanja Vidic di menit-menit akhir perpanjangan waktu.

Ketegangan memuncak di babak adu penalti. Ketika Ronaldo gagal, peluang emas muncul bagi Chelsea. Dari semua pemain yang bisa mengukir sejarah, John Terry, sang kapten, mengambil tanggung jawab itu—tanpa tahu bahwa ia sedang melangkah menuju jurang kenangan paling menyakitkan.

2 dari 4 halaman

Perebutan Peran Pahlawan

Di balik keputusan Terry mengambil penalti kelima, tersembunyi kenyataan yang belakangan diungkap Claude Makelele. Dalam wawancaranya, ia menyatakan bahwa Terry sebenarnya bukan penendang kelima yang direncanakan. Peran itu seharusnya diambil Salomon Kalou.

“Kami membuat kesalahan besar sebelum adu penalti. Kami sudah punya urutan yang disepakati, tapi itu berubah di menit terakhir,” ujar Makelele. “Seharusnya Salomon Kalou yang mengambil penalti terakhir, tapi John mengambil kesempatan itu darinya.”

Makelele tak bisa menyembunyikan kekecewaannya. “Saya sangat marah saat dia gagal mengeksekusi penalti itu… Dia seharusnya jadi pemimpin dan melakukan yang terbaik untuk tim. Namun, dia mencoba jadi pahlawan. Kalau saja dia tahu, dia akan menjadi pahlawan karena akan mengangkat trofi itu.”

3 dari 4 halaman

Tangisan Seorang Kapten

Ketika bola membentur tiang, Terry terjatuh, bukan hanya secara fisik, tapi juga secara emosional. Hujan yang turun deras membasahi wajahnya yang diliputi tangis dan penyesalan. Chelsea, yang hanya tinggal satu tendangan dari gelar, harus menyerah setelah Anelka juga gagal dan Van der Sar menjadi pahlawan United.

Terry mengenang malam itu dalam sebuah podcast pada 2024. “Saya hanya ingat berdiri melihat ke luar jendela hotel di Moskow, lantai 25… Bertanya, ‘Kenapa? Kenapa saat itu? Kenapa mulai hujan? Kenapa saya terpeleset?’” katanya lirih.

Yang lebih menyayat hati adalah pertandingan tiga hari kemudian saat ia membela Inggris. “Saya mencetak gol sundulan dari luar kotak penalti melawan Amerika Serikat… dan itu mungkin momen tersulit. Karena kalau saya bisa menukar satu gol dalam karier saya, itu yang akan saya tukar… Setelah pertandingan itu benar-benar menghancurkan saya.”

4 dari 4 halaman

Saat Ego Merenggut Segalanya

Dalam sepak bola, keberanian sering kali dipuja, tapi kadang kala ia berubah menjadi bumerang. Terry memang punya niat baik, tapi keputusannya mengabaikan rencana tim membuka ruang bagi takdir untuk memberi pelajaran keras. Kadang, menjadi pemimpin berarti tahu kapan harus menepi demi kepentingan kolektif.

Kegagalan Terry bukan satu-satunya penyebab kekalahan. Anelka pun gagal menuntaskan penalti. Namun, dunia lebih mudah mengingat momen yang paling dramatis—dan malam itu, tak ada momen yang lebih menyayat dari terpelesetnya seorang kapten dalam hujan.

Empat tahun kemudian, Chelsea akhirnya juara Liga Champions, tapi itu tak menghapus luka dari Moskow. Bagi John Terry, malam itu akan terus hidup sebagai bayang-bayang dari apa yang seharusnya bisa menjadi keabadian.

LATEST UPDATE