EDITORIAL: (Di)Mati(kan)nya Pro Duta, (Di)Mati(kan)nya Rekonsiliasi

EDITORIAL: (Di)Mati(kan)nya Pro Duta, (Di)Mati(kan)nya Rekonsiliasi
Pro Duta tak lolos verifikasi PSSI (c) Bolanet

Bola.net - - Oleh: Dendy Gandakusumah

"Ada kematian dengan cara biasa. Ada kematian dengan cara tak biasa," tulis wartawan senior -yang kini telah berstatus almarhum- Syu'bah Asa. "Keduanya sama harganya, meski daya kejutnya bisa berbeda."

Tak terdengar kesedihan dalam suara Wahyu Wahab. Suaranya masih lantang, cepat dan bersemangat, meski peluang klubnya mengikuti kompetisi unifikasi musim depan baru saja (di)mati(kan). "Ah, semua ini sudah diatur sejak awal. Kalau film, ini seperti film tentang pembunuhan terencana. Gagal satu cara bunuh kami, dipakailah cara lain lagi," tutur CEO Pro Duta ini. "Gagal digoyang match fixing, kami dijegal dengan cara lain. Masalah infrastrukturlah. Saya yakin, kalau masalah ini beres, akan dicari masalah lain lagi untuk menghalangi kami."

Meski tetap lantang, terselip getir di balik nada suara Wahyu. Pro Duta, klub yang sejak awal diharapkan bisa jadi salah satu tonggak profesionalisme klub sepakbola Indonesia, harus memupus mimpinya. Kuda Pegasus -julukan Pro Duta- tak lolos dari 'verifikasi' yang dilakukan PSSI.

Meski dengan cara tak wajar, hampir tak ada yang mengejutkan dengan (di)mati(kan)nya  Pro Duta. Hampir semua bisa mafhum, meski bisa disebut sebagai klub yang paling siap dan profesional di Indonesia, Pro Duta merupakan anak haram yang harus segera diaborsi untuk menjaga ketenangan rezim. Demi terjaganya semangat rekonsiliasi, yang selalu digembar-gemborkan PSSI, tak ada tempat bagi suara yang 'berbeda'.

Tak ada yang kaget dengan (di)mati(kan)nya Pro Duta. Toh, sejak menjuarai babak playoff Indonesian Premier League lalu, Ghozali Muharram Siregar dan kawan-kawan langsung digoyang isu pengaturan pertandingan.

Konon, Ketua Komisi Disiplin PSSI, Hinca Panjaitan, mendapat informasi dari Direktur Keamanan FIFA, Ralf Mutschke tentang adanya tengara pengaturan skor di playoff IPL. Meski tak tegas menyebut Pro Duta, bagi banyak pihak, sasaran tembak pernyataan Hinca tersebut adalah Pro Duta.

Yang mengejutkan dari (di)mati(kan)nya Pro Duta adalah kenyataan bahwa semua kecurigaan dan praduga bahwa klub tersebut bakal mengalami nasib tragis tersebut akhirnya menjadi kenyataan. Lebih 'mengejutkan' lagi, PSSI seakan sengaja menjadikan Pro Duta sebagai tugu peringatan bagi siapapun yang tak sejalan dengan mereka. "Jika Anda tak kami inginkan, cara apapun akan kami pakai untuk singkirkan Anda," begitu kira-kira pesan mereka.

PSSI boleh jadi berkilah bahwa mereka sekadar menjalankan regulasi. Toh, dalam statuta -yang ironisnya dulu pernah diprotes para petinggi PSSI saat ini, masalah peserta kompetisi pada akhirnya ditentukan oleh Komite Eksekutif PSSI.

Namun, adalah hak pecinta sepakbola untuk meragukan kinerja tim verifikasi PSSI. Apalagi, Sekretaris Jenderal PSSI, Joko Driyono telah mengakui tak ada klub yang memenuhi standar verifikasi untuk mengikuti kompetisi, sebuah pernyataan yang sempat sebelumnya sempat dilontarkan Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Roy Suryo.

"Jika tak ada yang berhak lolos, lalu apa yang menjadi dasar lolos sementaranya 22 klub yang diumumkan, beberapa waktu lalu? Yang paling penting, apa betul 22 klub tersebut memang benar-benar layak lolos, dengan mempertimbangkan aspek infrastruktur dan finansial, sesuai penilaian tim verifikasi?" bisa jadi inilah pertanyaan-pertanyaan  yang paling banyak berkecamuk.

Pertanyaan-pertanyaan lain? Tentu masih banyak. Apalagi dengan tertutupnya proses verifikasi dan banyaknya alasan-alasan yang dipakai menjawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul. Alih-alih menjawab, jawaban justru menghasilkan pertanyaan dan keraguan lainnya.

Tanpa adanya keterbukaan dan keterusterangan, pertanyaan dan keraguan ini berkerak sebagai sebuah rerasan. Sungguh bukan hal yang elok di tengah semangat rekonsiliasi yang terus dikhotbahkan petinggi PSSI maupun Menpora.

Pro Duta memang bukan klub sebesar Persebaya. Mereka juga bukan klub dengan suporter yang bisa memenuhi stadion seperti Persibo Bojonegoro. Namun, (di)mati(kan)nya mereka -bersama Persebaya, Persibo, Persema, Arema Indonesia- tetaplah sebuah kejahatan.

Syahdan, menjelang wafatnya, Saladin berwasiat pada Az-Zahir Ghazi agar menjauhi dendam, juga tak melakukan perbuatan yang memancing balas dendam. "Anakku," tutur Saladin pada putra ketiganya itu, "Jangan pernah menumpahkan darah.Darah yang terpercik takkan pernah tertidur."

Di penghujung rezim Nurdin Halid, kesewenangannya bersama rekan -terutama menumpahkan darah Persebaya demi menyelamatkan Pelita Jaya- berujung pada terjungkalnya rezim tersebut. Apakah saat ini [di]mati[kan]nya Pro Duta -juga Persebaya, Persema, Arema Indonesia, Persibo dan tak ketinggalan nilai-nilai sportivitas- bakal berujung lagi pada [di]tumbang[kan]nya kepengurusan PSSI? Entahlah. Yang jelas, keputusan yang tak transparan dan jauh dari nilai-nilai rekonsiliasi ini telah mengusik rasa keadilan banyak pihak.