Timo Scheunemann, Bule Yang Rela Dipenjara Asal Indonesia ke Piala Dunia

Timo Scheunemann, Bule Yang Rela Dipenjara Asal Indonesia ke Piala Dunia

Bola.net - - Oleh: Dendy Gandakusumah

Wajah Timo Scheunemann mendadak berubah. Tak ada lagi senyuman yang biasanya tersungging di bibirnya. Dengan raut serius, Timo berkata,” “Saya rela dipenjara asal Indonesia bisa masuk Piala Dunia.”

Kontan saja, ratusan orang yang menghadiri konferensi pers jelang pembukaan Liga Primer Indonesia di Hotel Novotel Solo, 07 Januari 2011 lalu terdiam. Banyak yang meragukan kesungguhan kalimat Timo. Pun sebaliknya, banyak juga yang salut dan kagum dengan pernyataan tersebut.

Bagi pria kelahiran Kediri, 9 November 1973 ini, tanggapan tersebut tidaklah penting. Yang penting, menurut Timo, dia sudah menunjukkan dan bakal mewujudkan rasa cintanya ke Indonesia.

Meski berpaspor Jerman, Timo sendiri mengaku sangat Indonesia. Bahkan, nyaris bisa dikatakan lebih Indonesia dari kebanyakan orang Indonesia.

Namun, nasionalisme Timo dan keluarganya tak berarti apapun, terutama bagi orang yang belum kenal dekat dengan mereka. Hanya karena ‘berambut pirang’ dan berbeda dari kebanyakan orang Indonesia, mereka kerap dipandang sebelah mata. Hal inilah yang akhirnya membuat mental keluarga Scheunemann, termasuk Timo, menjadi kokoh.

Kuatnya karakter mental Timo, yang telah terasah, banyak membantunya untuk meniti karir sepak bola. Mengawali karir di SSB Trunojoyo pada usia 15 tahun, Timo kemudian bergabung dengan Unibraw 82.

"Lalu kelas 1 SMA, saya pindah ke Jerman. Di sana, saya beruntung mendapat pendidikan yang benar tentang bermain sepak bola. Kemudian, saya mendapat beasiswa bermain sepak bola di Amerika. Sembari kuliah Sejarah Dunia di Masters College. Di sana, saya bermain di Liga Mahasiswa dan beruntung sempat mendapat kesempatan bermain melawan Coby Jones dan Kasey Keller, dua pemain yang sempat menjadi tulang punggung Timnas Amerika," paparnya.

1 dari 5 halaman

Awal Karir Sebagai Pemain di Indonesia

Awal Karir Sebagai Pemain di Indonesia

Setelah empat tahun menimba pengalaman di Negeri Uwak Sam dan menyandang gelar sarjana, Timo pulang kampung. Namun, kepulangannya bukan untuk menjadi ahli sejarah atau guru. Kecintaannya terhadap sepak bola tak bisa dilepaskan. 

Kali ini, Persiba Balikpapan yang menjadi pilihannya Timo. Postur tinggi besar, membuatnya menjadi sosok penyerang yang diperhitungkan pemain belakang lawan. Tampil mengkilat bersama skuad “Selicin Minyak”, langkah Timo berlanjut ke Tampines Rovers, klub di Liga Singapura.  

Hanya sebentar di Singapura, Timo kembali ditawari naik kelas dan bergabung ke Gillingham, salah satu klub di Divisi 1 Inggris. Namun, untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak, di sana, Timo cedera. Bahkan, kali ini, cedera tersebut harus mengakhiri karir sepak bolanya.

"Saya pensiun di usia yang masih sangat muda, 25 tahun. Cedera lutut saya ini karena waktu masa pertumbuhan saya kerap lari naik turun gunung," kisahnya sembari menarik nafas panjang.

2 dari 5 halaman

Gantung Sepatu, Ubah Haluan

Gantung Sepatu, Ubah Haluan

Gantung sepatu sebagai pemain, Timo mengubah halauan. Dia mengajar di Wesley International School di Malang. Namun, sepak bola nampaknya tidak bisa lagi dipisahkan dari kehidupan putra Detmar dan Gisella Scheunemann itu. Sepulang mengajar, dia melatih sepak bola di akademi sepak bola miliknya, Malang FC. Modalnya dalam melatih adalah Lisensi C yang diperolehnya di Amerika. Sementara, Wesley International School membantu di bidang pendanaan.

Merasa kembali menemukan dunianya, Timo enggan setengah-setengah. Agar lebih mumpuni, lisensi kepelatihan yang lebih tinggi ia kejar. 2006, dia terbang ke Jerman untuk memperoleh Lisensi B. Setahun kemudian, giliran Lisensi A UEFA yang dia raih di Jerman. Lisensi A ini diraihnya berkat beasiswa yang didapat Timo kala mengikuti pelatihan Lisensi B.

3 dari 5 halaman

Tularkan Ilmu di Indonesia

Tularkan Ilmu di Indonesia

Kembali ke Indonesia usai mendapatkan lisensi A UEFA, Timo menerapkan ilmu yang dia dapatkan. Tujuannya waktu itu hanya satu. Bibit-bibit unggul pesepakbola Indonesia bisa terasah dengan baik. Namun, ada satu masalah yang menghadangnya. Sebetulnya, masalah talent, para pemain Indonesia tidak ada masalah, menurut Timo, rata-rata pemain Indonesia pintar.

"Yang menjadi masalah adalah kurikulum yang nggak beres. Masalah ditambah lagi ketika  para pelatih tidak mengajar dengan menggunakan metode dan tahapan-tahapan yang benar," sesalnya. Padahal, Timo menambahkan, apabila hal ini dilakukan para pemain akan mengerti dan bakat mereka benar-benar terasah.

Hal ini justru dianggap Timo sebagai sebuah tantangan. Beberapa buku sudah dia tulis untuk menjelaskan teknik-teknik dasar bermain sepak bola. Sayang, hal ini tidak banyak membantu. Budaya instan dan sistem kebut semalam yang kerap dilakukan oleh rezim terdahulu membuat pembinaan usia muda di sepak bola Indonesia tetap jalan di tempat dan tak lebih dari proyek yang menghabiskan anggaran belaka.

4 dari 5 halaman

Awal Karir Menangani Klub Profesional

Awal Karir Menangani Klub Profesional

Di tahun 2010 lalu, Timo mendapat kesempatan perdananya menjadi pelatih di sebuah tim profesional, Persema Malang. Bahkan, bersama Ketua Umum Persema, Peni Suparto, Timo mencatatkan namanya di sejarah klub tersebut dengan membawa Persema bergabung dengan Liga Primer Indonesia.

Semusim menangani Persema Malang, dan membawa tim berjuluk Laskar Ken Arok itu menjadi runner up kompetisi Liga Primer Indonesia, Timo mundur. Dia enggan menjelaskan alasannya mundur. Namun, disebut-sebut perselisihannya dengan petinggi klub tersebut, Timo enggan untuk meneruskan karirnya di Persema. Timo kerap direcoki oleh petinggi tersebut mengenai teknis permainan.

"Tentu saja ini sama sekali tidak menunjukkan profesionalisme. Padahal, ketika bergabung dengan kompetisi LPI, jargon profesional selalu diusung oleh Persema," ungkap salah seorang sumber di tubuh tim tersebut. Bisa dipastikan, hal ini juga tidak sesuai dengan nurani Timo, yang dikenal idealis tersebut.

"Sepak bola, seperti kehidupan, tidak pernah adil, Namun, bagaimanapun juga, kita harus tetap bisa mengendalikan diri.” Kata-kata ini selalu ditekankan Timo pada setiap pemainnya. Bisa jadi hal ini pula yang membuatnya enggan menjelaskan alasannya mundur dari Persema dan berpisah dari para pemain yang sangat dia cintai itu.

5 dari 5 halaman

Mendapat Kepercayaan PSSI

Mendapat Kepercayaan PSSI

Mundurnya Timo dari Persema membawa berkah terselubung baginya. Tak lama setelah mengundurkan diri, Timo seakan kembali ke jalur takdirnya, sebagai sosok pendidik. Kali ini dia mendapat kepercayaan sebagai Direktur Pembinaan Usia Muda PSSI.

Timo bertanggung jawab untuk menyusun kurikulum dan mengawasi jalannya enam Akademi Garuda, pusat pembinaan talenta pesepakbola muda di Indonesia, yang rencananya akan didirikan di enam kota di Indonesia:  Padang, Bandung, Malang, Makassar, Balikpapan dan Manokwari. "Semoga saja hal ini bisa menjadi titik awal pembinaan pemain muda secara sistematis," harapnya. "Hanya dengan pembinaan pemain muda yang kuat, kita bisa memiliki tim nasional yang tangguh dan kita bisa bermimpi Indonesia berlaga di Piala Dunia," tambahnya.

Berita Terkait