Nostalgia Dario Hubner dari Era Keemasan Serie A: Si Bison yang Hanya Butuh Bola dan Ruang Tembak

Nostalgia Dario Hubner dari Era Keemasan Serie A: Si Bison yang Hanya Butuh Bola dan Ruang Tembak
Dario Hubner (c) Instagram @dariohubner1967

Bola.net - Nama Dario Hubner tak akan muncul jika Anda mencari ikon Serie A era 2000-an. Ia bukan bagian dari tim besar, tak punya sponsor pribadi, dan nyaris tak pernah tampil di layar kaca internasional. Namun, siapa sangka, di antara bintang-bintang besar itu, ia pernah jadi raja.

Musim 2001/02, di usia 35 dan berseragam Piacenza, Hubner menjadi Capocannoniere Serie A bersama David Trezeguet. Torehan 24 golnya bukan kebetulan. Itu hasil insting, kecerdikan, dan keteguhan seorang striker dari dunia antitesis glamor.

Julukannya 'Tatanka'—bison dalam bahasa penduduk asli Amerika—menggambarkan semuanya. Ia bukan pelari cepat, bukan dribbler memukau, tapi di kotak penalti, dia pemburu. Diam, sabar, dan mematikan.

1 dari 4 halaman

Dari Divisi Bawah ke Debut Melawan Ronaldo

Karier Hubner bukan kisah anak ajaib. Ia memulai di Pievigina, klub kecil di Serie D. Bertahun-tahun berlaga di Serie C dan B, ia perlahan mencetak namanya sebagai pencetak gol ulung. Namun, Serie A masih tampak seperti mimpi yang jauh.

Mimpi itu akhirnya terwujud ketika Brescia promosi pada 1997. Dan laga debutnya? Langsung melawan Inter Milan yang diperkuat Ronaldo, sang pemain termahal dunia kala itu. Semua perhatian tertuju pada si Fenomena asal Brasil.

Namun, yang lebih dulu mencetak gol adalah Hubner. Memanfaatkan umpan Andrea Pirlo, ia membalikkan badan dan menaklukkan Gianluca Pagliuca di Giuseppe Meazza. Tak banyak yang mengingat momen itu—karena Alvaro Recoba mencuri perhatian dengan dua gol balasan. Namun, mereka yang tahu, tahu: bison itu datang.

2 dari 4 halaman

Era Bersama Baggio dan Pirlo

Meski Brescia sempat terdegradasi, Hubner tetap setia dan mencetak 42 gol di dua musim Serie B. Ketika mereka kembali ke kasta tertinggi pada 2000/01, segalanya berubah. Klub merekrut Roberto Baggio dan mengembalikan Andrea Pirlo dari pinjaman.

Banyak yang mengira Baggio sudah melewati masa emas, dan Hubner tak lebih dari pelengkap. Namun, kombinasi mereka justru menjelma jadi duet maut. Hubner dan Baggio mencetak total 27 gol, membawa Brescia ke peringkat tujuh dan lolos ke Piala Intertoto.

Itu adalah musim terbaik dalam sejarah klub. Namun, seiring waktu berjalan, Hubner tahu waktunya hampir habis. Luca Toni muda sudah mengetuk pintu, dan Brescia memilih melepas si bison yang sudah berjasa.

3 dari 4 halaman

Musim Puncak di Piacenza

Piacenza menampung Hubner. Tak banyak yang berekspektasi, tapi justru di sanalah Hubner menorehkan musim terbaik dalam hidupnya. Di usia 35, ia mencetak 24 gol dan menyabet gelar Capocannoniere—bersama David Trezeguet dari Juventus.

Musim itu, ia mencetak gol ke gawang tim-tim besar. Dari total 24 gol, enam berasal dari titik putih, sisanya hasil kecermatan, posisi, dan naluri yang tak bisa diajarkan. Ia membungkam bek-bek tangguh seperti Alessandro Nesta, Fabio Cannavaro, hingga Paolo Montero.

Itu adalah bentuk puncak dari karier yang dibangun dengan kerja keras, bukan sensasi. Sayangnya, meski publik bersuara, pelatih Italia saat itu Giovanni Trapattoni tetap tak memanggilnya ke Piala Dunia 2002. Dunia sepak bola memang kadang tidak adil.

4 dari 4 halaman

Cinta yang Tak Pernah Selesai

Setelah Piacenza, Hubner sempat ke Perugia dan Mantova. Ia tak mau berhenti. Bahkan hingga usia 44 tahun, ia masih bermain di klub-klub kecil dan amatir. Ia mencetak gol demi gol, tanpa peduli ada kamera atau tidak. Sepak bola bukan pekerjaan baginya—melainkan cinta.

Ia tercatat sebagai satu dari dua pemain (bersama Igor Protti) yang pernah menjadi top skor di Serie A, Serie B, dan Serie C. Ini prestasi langka, tapi tak banyak dirayakan. Hubner tak peduli. Ia tak butuh tepuk tangan, hanya butuh bola dan ruang tembak.

Kini, setiap kali kita membahas bintang-bintang dari era keemasan Serie A, jangan lupakan satu nama: Dario 'Tatanka' Hubner. Ia mungkin bukan legenda untuk semua orang, tapi bagi mereka yang mencintai sepak bola dengan hati, ia adalah lambang keindahan yang sederhana.