Fenomena Rojali dan Rohana: Tanda Ekonomi Lesu atau Sekadar Perilaku Baru?

Fenomena Rojali dan Rohana: Tanda Ekonomi Lesu atau Sekadar Perilaku Baru?
Masyarakat berkunjung di mal. (c) Liputan6.com/Arief RH

Bola.net - Dunia ritel dihebohkan oleh munculnya fenomena "Rojali" dan "Rohana". Istilah ini merujuk pada Rombongan Jarang Beli dan Rombongan Hanya Nanya.

Kedua istilah ini menggambarkan perilaku pengunjung pusat perbelanjaan yang datang namun tidak melakukan transaksi. Banyak pelaku usaha yang mengeluhkan meningkatnya tren ini.

Fenomena tersebut lantas memicu pertanyaan besar di kalangan publik. Apakah ini menjadi sinyal bahwa daya beli dan tingkat konsumsi masyarakat sedang tidak baik-baik saja?

Namun, sejumlah pengamat memiliki pandangan yang berbeda. Mereka menilai fenomena ini bukan sebagai penanda melemahnya konsumsi secara umum.

Menurut mereka, ini lebih merupakan cerminan dari perubahan perilaku konsumen. Terutama setelah era pandemi yang mengubah banyak kebiasaan masyarakat.

Konsumen kini dinilai menjadi lebih berhati-hati dan selektif sebelum memutuskan untuk membeli. Mari kita telusuri lebih dalam pandangan para ahli mengenai fenomena unik ini.

1 dari 3 halaman

Adaptasi Pola Konsumsi Pascapandemi

Pengamat ekonomi dari Indonesia Strategic and Economic Action Institution, Ronny P. Sasmita, menilai fenomena ini sebagai hal yang wajar. Menurutnya, ini adalah hasil dari evolusi perilaku konsumen.

Ia berpendapat bahwa konsumen saat ini menjadi jauh lebih terinformasi. Peningkatan literasi digital membuat mereka cenderung melakukan survei harga terlebih dahulu.

"Perkara Rojali dan Rohana, dalam hemat saya, hanya sebagai fenomena akibat perubahan perilaku konsumen saja. Bahkan di sektor informal, penjualan membaik," kata Ronny, dalam keterangan tertulisnya, Senin (11/8/2025).

Menariknya, di tengah maraknya fenomena ini, data justru menunjukkan adanya perbaikan di sektor informal. Sektor ritel modern secara umum juga tidak menunjukkan adanya tekanan yang berarti.

"Di sektor ritel, secara umum tak terjadi tekanan berarti. Hal itu bisa dilihat dari data penjualan ritel dari Bank Indonesia yang masih terpantau stabil," ujarnya.

2 dari 3 halaman

Pasar Unik dan "Lipstick Index"

Pandangan lain datang dari Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo). Analis Kebijakan Ekonomi Apindo, Ajib Hamdani, menilai fenomena ini mencerminkan keunikan pasar Indonesia.

Namun, ia mengingatkan agar situasi ini tidak dilihat secara sepihak. Ada sebuah konsep menarik yang bisa menjelaskan perilaku konsumen saat ini.

"Terkait fenomena Rojali-Rohana, memang pasar Indonesia ini unik, tapi jangan lupa bahwa kita ini ada namanya Lipstick Index," kata Ajib saat ditemui di kantor APINDO, Jakarta, Kamis (31/7/2025).

Konsep Lipstick Index merujuk pada kecenderungan masyarakat yang tetap membelanjakan uangnya untuk produk tersier atau hiburan. Perilaku ini tetap terjadi meskipun daya beli secara umum dirasakan menurun.

"Misalnya begini, teman-teman bisa lihat kalau kita menonton bola atau kalau ada konser-konser, tiket baru keluar saja biasanya kehabisan," ujarnya.

3 dari 3 halaman

Strategi Industri Ritel Hadapi Perubahan

Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) juga angkat bicara. Ketua Umum APPBI, Alphonzus Widjaja, menegaskan bahwa fenomena Rojali dan Rohana bukanlah sesuatu yang baru.

Menurutnya, kehadiran pengunjung yang hanya melihat-lihat merupakan bagian dari dinamika alami. Hal ini sejalan dengan perubahan fungsi pusat perbelanjaan itu sendiri.

"Jadi, Rojali itu bukan sesuatu yang baru begitu. Hanya saja memang intensitasnya kadang turun, kadang naik begitu. Tergantung faktor-faktor yang mempengaruhi," kata Alphonzus dalam konferensi pers ISF 2025, di Jakarta, Rabu (6/8/2025).

Ia pun optimistis bahwa berbagai inisiatif dapat membangkitkan kembali gairah belanja masyarakat. Salah satunya adalah melalui gelaran Indonesia Shopping Festival (ISF) 2025.

Acara tersebut diharapkan dapat menjadi momentum penting untuk mengurangi intensitas fenomena Rojali dan Rohana. Sekaligus mendorong kembali aktivitas transaksi di pusat-pusat perbelanjaan.