Pasar Emas Bergejolak Akibat Perubahan Kebijakan Tarif AS

Pasar Emas Bergejolak Akibat Perubahan Kebijakan Tarif AS
Ilustrasi emas. (c) ilustrasi dibuat ai

Bola.net - Pasar komoditas emas kembali mengalami gejolak signifikan. Pemicunya adalah perubahan mendadak kebijakan tarif oleh pemerintah Amerika Serikat.

Presiden AS Donald Trump secara resmi memastikan bahwa emas tidak akan dikenakan tarif impor. Keputusan ini secara langsung membatalkan kebijakan yang diumumkan sebelumnya.

Pernyataan tersebut sontak membuat harga emas berjangka merespons dengan tajam. Harga kontrak emas ditutup anjlok 2,48 persen setelah pengumuman itu dirilis.

Padahal, pada pekan sebelumnya, harga emas sempat mencetak rekor tertinggi. Kenaikan itu dipicu oleh keputusan Bea Cukai AS yang menyatakan akan mengenakan bea masuk.

Kebijakan yang dibatalkan itu rencananya akan menyasar emas batangan dari Swiss. Tarif sebesar 39 persen tadinya akan dikenakan pada jenis emas batangan yang krusial untuk perdagangan di bursa.

Perubahan kebijakan yang cepat ini menciptakan ketidakpastian baru di pasar. Pelaku pasar kini harus kembali memetakan ulang proyeksi mereka terhadap pergerakan logam mulia.

Kini, dengan drama kebijakan tarif yang mereda, fokus pasar diperkirakan akan beralih. Data ekonomi fundamental akan menjadi penentu arah harga emas selanjutnya.

1 dari 3 halaman

Drama Kebijakan Tarif dan Respons Pasar

Drama Kebijakan Tarif dan Respons Pasar

Ilustrasi harga emas dunia. (c) ilustrasi dibuat ai

Gejolak di pasar emas bermula dari keputusan Bea Cukai AS beberapa waktu lalu. Institusi tersebut sempat menyatakan akan mengenakan tarif impor yang tinggi.

Sasaran utamanya adalah emas batangan berukuran 1 kilogram dan 100 ons dari Swiss. Jenis emas ini merupakan aset penting yang biasa digunakan sebagai jaminan kontrak di Bursa Komoditas (COMEX).

Asosiasi Logam Mulia Swiss bahkan sempat memberikan peringatan. Mereka menilai kebijakan tersebut berpotensi besar mengganggu aliran perdagangan emas fisik di pasar internasional.

Namun, semua berubah setelah Presiden AS Donald Trump mengeluarkan pernyataan tegas. Ia membatalkan rencana tersebut melalui platform media sosialnya.

"Emas tidak akan dikenakan tarif!" tulis Trump di platform Truth Social, dikutip dari CNBC, Selasa (12/8/2025).

2 dari 3 halaman

Proyeksi Analis di Tengah Ketidakpastian

Meskipun drama tarif telah mereda, para analis pasar masih memiliki pandangan yang beragam. Survei mingguan Kitco News menunjukkan sentimen yang secara umum masih positif.

Sebanyak 60 persen analis Wall Street dan 69 persen investor ritel masih memperkirakan harga emas akan naik. Namun, sebagian analis lain memilih untuk bersikap lebih hati-hati.

"Saya sudah bullish sejak lama dan tidak melihat alasan untuk berubah sekarang,” kata Analis Forex.com, James Stanley, yang melihat kekuatan teknikal pada harga emas.

Pandangan berbeda datang dari COO Asset Strategies International, Rich Checkan. Ia menilai pasar masih membutuhkan waktu untuk mencerna berita terbaru dari kebijakan Trump.

“Tunggu dan lihat minggu ini untuk melihat kejelasan, atau perubahan lain dari Presiden Trump,” ujarnya, menyiratkan perlunya sikap waspada.

3 dari 3 halaman

Fokus Beralih ke Data Ekonomi Fundamental

Dengan dikesampingkannya isu tarif, perhatian investor kini tertuju pada data-data ekonomi. Rilis data inflasi AS akan menjadi sentimen utama yang paling ditunggu pekan ini.

Pelaku pasar memperkirakan angka Indeks Harga Konsumen (IHK) AS akan menunjukkan kenaikan. Hal ini berpotensi memengaruhi kebijakan moneter bank sentral AS, The Federal Reserve.

Selain itu, pasar juga akan mencermati keputusan suku bunga dari Bank Sentral Australia. Sejumlah pernyataan dari pejabat The Fed juga akan menjadi perhatian.

Data ekonomi lainnya yang akan dirilis adalah Indeks Harga Produsen (IHP) AS. Data klaim pengangguran mingguan juga akan turut memengaruhi pergerakan pasar.

"Saya memperkirakan Emas akan melemah setelah menguji USD 3.410 sebelum akhir pekan," kata Direktur Pelaksana di Bannockburn Global Forex, Marc Chandler, yang melihat potensi penguatan dolar jelang rilis data inflasi.