Mesin Sepakbola Spanyol: Pabrik Talenta yang Tak Pernah Mati

Mesin Sepakbola Spanyol: Pabrik Talenta yang Tak Pernah Mati
Skuad Timnas Spanyol berfoto bersama sebelum pertandingan kualifikasi Piala Dunia 2026 antara Spanyol dan Georgia di Stadion Manuel Martinez Valero, Elche, 11 Oktober 2025 (c) AP Photo/Alberto Saiz

Bola.net - Pelatih Georgia, Willy Sagnol, hanya bisa menghela napas panjang usai timnya dihantam habis-habisan oleh Spanyol. “Mereka tidak hanya dari dunia lain, tapi dari alam semesta yang berbeda,” katanya, setengah kagum, setengah pasrah.

Ucapan Sagnol, yang pernah menjadi finalis Piala Dunia dan juara Liga Champions bersama Bayern Munich, terasa bukan hiperbola. Ia baru saja menyaksikan tim “C” Spanyol mengancam mencetak delapan gol ke gawang Georgia, lalu melihat mereka kembali menang besar 4-0 atas Bulgaria beberapa hari kemudian.

Kemenangan itu menandai rekor tak terkalahkan ke-29 Spanyol di ajang kompetitif, menyamai catatan era emas Iker Casillas, Xavi, Iniesta, Busquets, Alonso, dan Torres. Namun kali ini, La Roja melakukannya tanpa setengah dari bintang utamanya.

Yang menakjubkan, bahkan ketika kehilangan begitu banyak pemain kelas dunia, Spanyol tetap tampil memukau, tetap menang, dan tetap membuat lawan kehabisan cara bertahan.

1 dari 3 halaman

Skuad Tak Lengkap, Tapi Spanyol Tetap Tak Terbendung

Dalam dua laga terakhir kualifikasi Piala Dunia, Spanyol sebenarnya bisa membuat satu tim penuh hanya dari pemain yang absen: mulai dari Rodri, Dani Carvajal, Dani Olmo, Gavi, hingga Lamine Yamal.

Jika ditambahkan Ferran Torres yang cedera, total ada 20 pemain papan atas yang tak tersedia. Tapi La Roja tetap memenangi dua laga itu dengan dominasi total. Sebuah bukti betapa dalamnya stok pemain mereka.

“Tidak ada tim lain di dunia yang bisa kehilangan sebanyak itu dan tetap tampil seperti Spanyol,” ujar Sagnol. “Mereka punya banyak solusi, bahkan ketika kehabisan pemain.”

Pelatih asal Prancis itu menilai kekuatan Spanyol bukan hanya pada teknik, tapi pada kecerdasan bermain. “Mereka memproduksi pemain dengan football intelligence. Lihat saja Pedri. Tubuhnya kecil, tapi dia salah satu pemain paling pintar di dunia. Itulah produk dari 20-25 tahun perencanaan yang hebat,” ujarnya.

2 dari 3 halaman

Hasil Panen Dua Dekade Perencanaan Sempurna

Hasil Panen Dua Dekade Perencanaan Sempurna

Aksi winger Spanyol, Lamine Yamal saat melawan Bulgaria di Kualifikasi Piala Dunia 2026 Grup E. (c) AP Photo/Tony Uzunov

Sagnol tidak berlebihan. Dalam dua dekade terakhir, Federasi Sepakbola Spanyol (RFEF) telah membangun sistem pengembangan yang menyeluruh. Setiap tahun, mereka memilih 55 pemain terbaik dari kelompok usia 14–15 tahun untuk dibina secara terpusat.

Mulai dari taktik, kedisiplinan, hingga tanggung jawab sosial, semua ditanamkan dengan satu filosofi: order and talent. Ginés Melendez, eks koordinator akademi RFEF, pernah menjelaskan: “Sejak usia 15 sampai 21 tahun, kami melatih mereka dengan cara yang sama. Latihan yang sama, prinsip yang sama, sampai menjadi otomatis.”

Hasilnya terlihat jelas. Ketika satu pemain absen, yang lain masuk dan melakukan peran yang sama dengan level permainan identik. Identitas sepakbola Spanyol tetap terjaga, siapa pun yang turun ke lapangan.

Tak heran bila pelatih Luis de la Fuente bisa menggunakan 63 pemain berbeda selama empat tahun terakhir dan tetap menjaga konsistensi performa di level tertinggi.

3 dari 3 halaman

Rekam Jejak yang Tak Tertandingi di Dunia

Jika dijadikan analogi balapan kuda, performa Spanyol dalam empat tahun terakhir akan membuat semua penjudi menaruh taruhan besar. Hasilnya berbicara sendiri: semifinal Euro 2021, perak Olimpiade 2021, runner-up Nations League 2021, 16 besar Piala Dunia 2022, juara Nations League 2023, juara Euro 2024, emas Olimpiade 2024, dan finalis Nations League 2025.

Stabilitas luar biasa ini tak terjadi secara kebetulan. De la Fuente telah mengubah Spanyol menjadi mesin kemenangan yang nyaris tanpa kelemahan. Bahkan pemain yang dulu diragukan kini tumbuh menjadi bintang internasional berkat sistem yang mematangkan potensi mereka.

Leeds United gelandang Ilia Gruev mengaku nyaris frustrasi setelah dikalahkan Spanyol 0-4. “Kami bahkan tidak bisa melakukan duel,” ujarnya. “Mereka bermain terlalu cepat dan terlalu pintar. Anda tak bisa menekan mereka. Untuk sekadar bernapas, Anda perlu menguasai bola.”