Pengamat Sepak Bola Soroti Zainudin Amali Usai Timnas Indonesia U-22 Gugur Lebih Cepat di SEA Games 2025

Pengamat Sepak Bola Soroti Zainudin Amali Usai Timnas Indonesia U-22 Gugur Lebih Cepat di SEA Games 2025
Starting XI Timnas Indonesia saat berjumpa Myanmar pada ajang SEA Games 2025 (c) Bagaskara Lazuardi

Bola.net - Kegagalan Timnas Indonesia U-22 meraih medali emas di SEA Games 2025 dinilai tidak bisa dilihat semata sebagai hasil pertandingan di lapangan. Melainkan berkaitan dengan rangkaian kebijakan dan pengelolaan tim sejak tahap awal persiapan.

Hasil tersebut menandai catatan buruk karena Timnas Indonesia U-22 tidak mampu melaju ke semifinal. Sesuatu yang jarang terjadi dalam sejarah keikutsertaan di ajang SEA Games.

Founder Save Our Soccer (SOS) sekaligus pengamat sepak bola, Akmal Marhali menilai kegagalan ini perlu dijadikan titik awal evaluasi menyeluruh terhadap struktur pengambilan keputusan di tim nasional. Menurutnya, tanggung jawab tidak hanya berada di tangan pelatih, tetapi juga pada pihak yang menetapkan target serta mengatur arah kebijakan tim.

Akmal secara khusus menyebut peran Wakil Ketua Umum (Waketum) PSSI, Zainudin Amali sebagai penanggung jawab Timnas Indonesia U-22 dalam SEA Games 2025. Ia mengingatkan bahwa sejak awal, target medali emas telah dicanangkan, meskipun persiapan Garuda Muda diakui berlangsung dalam waktu yang relatif singkat.

1 dari 2 halaman

Alarm Keras

Akmal menyebut kegagalan di Thailand ini memiliki arti penting dalam catatan sejarah sepak bola Indonesia di SEA Games. Ini menjadi kali pertama Timnas Indonesia gagal menembus semifinal sejak 2009, serta yang keenam sejak mulai berpartisipasi pada 1977.

Ia juga mencatat bahwa dari enam kegagalan tersebut, tiga di antaranya terjadi saat Thailand menjadi tuan rumah, yakni pada 1985, 2007, dan 2025. Fakta tersebut, menurut Akmal, menunjukkan bahwa kegagalan kali ini tidak bisa dianggap sebagai kejadian biasa.

"Ini bukan sekadar kalah biasa. Ini alarm keras," ujar Akmal dalam rilis yang diterima Bola.net, Senin (15/12)

Dari sisi kepelatihan, Akmal menilai hasil SEA Games 2025 menjadi fase terburuk Indra Sjafri di ajang tersebut. Setelah sebelumnya mempersembahkan medali perak pada 2019 dan emas pada 2023, Timnas Indonesia U-22 kini harus tersingkir di penyisihan grup.

Padahal, rekam jejak Indra Sjafri di level usia dinilai cukup konsisten dengan berbagai pencapaian, termasuk gelar Piala AFF U-19 2013 dan 2024, Piala AFF U-22 2019, serta emas SEA Games 2023. Kondisi ini membuat kegagalan di Thailand menjadi kontras dibandingkan prestasi yang pernah diraih sebelumnya.

"Setiap orang ada zamannya. Kini, sepertinya kita memasuki era kegelapan bagi Indra Sjafri setelah sekian lama penuh bintang prestasi," katanya.

2 dari 2 halaman

Evaluasi Semuanya

Meski demikian, Akmal menegaskan evaluasi tidak boleh berhenti pada sosok pelatih semata. Ia mengingatkan adanya pengakuan dari Amali terkait durasi persiapan Timnas Indonesia U-22 yang hanya berlangsung beberapa bulan, jauh lebih singkat dibandingkan persiapan SEA Games 2023.

Menurut Akmal, perbedaan waktu persiapan tersebut menunjukkan adanya ketidakseimbangan antara target yang ditetapkan dan fondasi yang dibangun. Ia menilai hal itu sebagai kontradiksi kebijakan yang perlu dijelaskan secara terbuka kepada publik.

"Target emas dicanangkan, tapi fondasi persiapannya jauh dari ideal. Ini kontradiksi kebijakan yang harus dipertanggungjawabkan," tuturnya.

Akmal menyebut fluktuasi prestasi sebagai hal yang wajar dalam dunia sepak bola, terutama bagi negara yang masih berkembang. Namun, ia menilai kondisi tersebut seharusnya mendorong evaluasi jujur dan menyeluruh, bukan sekadar reaksi defensif.

Ia mendorong agar evaluasi dilakukan terhadap seluruh elemen tim, mulai dari pelatih, pemain, manajer, hingga penanggung jawab program. Langkah tersebut dinilai penting untuk menemukan akar persoalan sekaligus menjaga konsistensi arah pembangunan sepak bola nasional.

Akmal juga menekankan perlunya kesesuaian dengan peta jalan sepak bola Indonesia menuju 2045 agar perubahan kebijakan tidak terus berulang setiap kali terjadi pergantian pelatih. Menurutnya, konsistensi filosofi menjadi kunci agar prestasi tidak bergantung pada figur tertentu.

"Sekarang waktunya berbenah dan mengambil hikmah. Habis gelap, terbitlah terang. Tapi terang itu hanya datang jika kita berani jujur dan bertanggung jawab," imbuhnya.

(Bola.net/Fitri Apriani)