Pressing vs Possession: Final Liga Champions 2025 Janjikan Pertandingan Kelas Top

Richard Andreas | 30 Mei 2025 11:50
Pressing vs Possession: Final Liga Champions 2025 Janjikan Pertandingan Kelas Top
Selebrasi gelandang Inter Milan, Davide Frattesi (tengah) dan para pemain Nerazzurri setelah mencetak gol kemenangan atas Barcelona di leg 2 semifinal Liga Champions 2024-2025. (c) AP Photo/Luca Bruno

Bola.net - Pressing telah menjadi semacam obsesi dalam sepak bola modern, seolah menjadi syarat utama untuk meraih gelar juara. Namun, final Liga Champions 2025 yang mempertemukan PSG dan Inter Milan menunjukkan arah yang berbeda: kualitas teknis justru menjadi penentu utama.

Kedua finalis memang memiliki kemampuan untuk menekan lawan dengan intensitas tinggi, tetapi justru kemampuan mereka dalam menguasai bola yang lebih menonjol. Final ini bukan sekadar adu stamina dan agresivitas, melainkan sebuah duel para gelandang jenius yang lebih suka mengontrol bola ketimbang mengejarnya.

Advertisement

Ketika pertandingan besar biasanya ditentukan oleh siapa yang paling agresif, laga ini berpotensi mengubah narasi yang ada. Kita tidak lagi berbicara tentang siapa yang paling cepat merebut bola, melainkan siapa yang paling cerdas dalam menggunakannya.

1 dari 6 halaman

Evolusi Pressing: Dari Senjata Utama Menjadi Sekadar Pelengkap

Evolusi Pressing: Dari Senjata Utama Menjadi Sekadar Pelengkap

Selebrasi Fabian Ruiz dalam laga semifinal Liga Champions antara PSG vs Arsenal, Kamis (8/5/2025). (c) AP Photo/Thibault Camus

Selama satu dekade terakhir, pressing telah mendominasi diskursus taktik sepak bola. Kecepatan berlari dan agresivitas dianggap sebagai kualitas wajib, bahkan dianggap lebih penting daripada keterampilan mengolah bola.

Namun, ketika pemain dipilih karena daya lari alih-alih kemampuan menguasai bola, sepak bola kehilangan daya tarik estetisnya. Apa jadinya jika bintang dunia justru lebih senang saat lawan menguasai bola demi bisa melakukan pressing?

Kritik Ralf Rangnick terhadap Cristiano Ronaldo menjadi contoh ekstrem dari tren ini. Ronaldo dianggap tidak cocok karena kurang antusias dalam melakukan pressing, padahal esensi sepak bola adalah menguasai bola, bukan hanya sekadar merebutnya.

2 dari 6 halaman

PSG: Pressing Cerdik dan Lini Tengah Bertalenta

PSG: Pressing Cerdik dan Lini Tengah Bertalenta

Selebrasi Achraf Hakimi dalam laga semifinal Liga Champions antara PSG vs Arsenal, Kamis (8/5/2025). (c) AP Photo/Thibault Camus

PSG di era baru tidak lagi mengandalkan trio non-defensif seperti Messi, Neymar, dan Mbappe. Kini, mereka tampil kompak, agresif, namun juga memukau secara teknis di lini tengah.

Joao Neves merangkum filosofi mereka dengan baik: "Kami lebih baik bermain dengan bola. Cara terbaik bertahan adalah dengan membawa bola di kaki," katanya sebelum semifinal melawan Arsenal.

Neves, Fabian Ruiz, dan Vitinha membentuk poros di lini tengah yang tidak hanya kuat dalam merebut bola, tetapi juga sangat nyaman dalam menguasainya. Rotasi posisi mereka seringkali membuat lawan kebingungan membedakan siapa yang bermain sebagai regista, mezzala, atau trequartista.

3 dari 6 halaman

Inter Milan: Harmoni Kreatif di Jantung Permainan

Inter Milan: Harmoni Kreatif di Jantung Permainan

Skuad Inter Milan merayakan gol Yann Aurel Bisseck ke gawang Lazio (c) Inter Milan Official

Inter Milan justru tampil lebih teknikal dibandingkan PSG. Gelandang terdalam mereka, Hakan Calhanoglu, memulai karier sebagai playmaker klasik sebelum bertransformasi menjadi pengatur ritme permainan seperti Pirlo.

Di depannya, Henrikh Mkhitaryan yang dulu dikenal sebagai pencetak gol andalan kini berperan sebagai penghubung antar lini yang lebih tenang dan berpengalaman. Pada usia 36 tahun, ia tampil layaknya seorang maestro sejati di pertandingan-pertandingan besar.

Nicolo Barella melengkapi trio lini tengah ini dengan energi dan kecerdasan. Ia mungkin dikenal karena intensitasnya, namun kini lebih sering membuat keputusan matang ketimbang hanya berlari tanpa arah.

4 dari 6 halaman

Strategi Tanpa Bola yang Berbasis Kecerdikan

Strategi Tanpa Bola yang Berbasis Kecerdikan

Francesco Acerbi merayakan golnya dalam laga leg kedua semifinal Liga Champions 2024/2025 antara Inter Milan vs Barcelona, Rabu (7/5/2025) dini hari WIB. (c) Spada/LaPresse via AP

Baik PSG maupun Inter tetap melakukan pressing, namun bukan pressing buta. Mereka menyesuaikan pola, terkadang menggunakan man-to-man marking, terkadang menerapkan skema zona dengan jebakan kolektif.

Uniknya, Inter jarang mengandalkan kemampuan dribbling individu untuk membuka ruang. Sebaliknya, mereka mengedepankan passing dan rotasi posisi, bahkan melibatkan bek tengah untuk maju ke lini tengah saat membangun serangan.

Semua itu muncul sebagai respons terhadap tekanan tinggi dalam sepak bola modern. Daripada melawan pressing dengan tenaga, mereka memilih untuk bermain dengan otak dan kecerdasan.

5 dari 6 halaman

Final Liga Champions 2025: Adu Otak, Bukan Otot

Pressing tetap menjadi aspek penting, namun bukan elemen yang paling memesona dari laga final kali ini. Siapa pun pemenangnya, fokus seharusnya tertuju pada kualitas teknikal lini tengah yang akan menentukan ritme permainan.

PSG, dengan poros Neves–Ruiz–Vitinha, menawarkan harmoni antara kekuatan fisik dan flair dalam bermain. Inter Milan membalas dengan trio veteran cerdas mereka: Calhanoglu, Mkhitaryan, dan Barella.

Final ini bisa menjadi titik balik bagi sepak bola modern. Ketika dunia mulai merasa jenuh dengan sepak bola berbasis tekanan, para maestro lini tengah siap membuktikan bahwa menguasai bola tetap merupakan seni tertinggi dalam permainan ini.