Nostalgia Luis Enrique: Dari Putih ke Blaugrana, dari Pahlawan ke Pengkhianat

Gia Yuda Pradana | 10 Juli 2025 13:52
Nostalgia Luis Enrique: Dari Putih ke Blaugrana, dari Pahlawan ke Pengkhianat
Pelatih PSG, Luis Enrique memberikan instruksi ke para pemain saat melawan Real Madrid di semifinal Piala Dunia Antarklub 2025. (c) AP Photo/Seth Wenig

Bola.net - Luis Enrique kembali ke panggung yang menyulut masa lalunya—dan ia tidak datang untuk berdamai. Di semifinal Piala Dunia Antarklub 2025, pelatih asal Spanyol itu memimpin Paris Saint-Germain (PSG) membantai Real Madrid 4-0. Kemenangan telak ini tak hanya mengantar PSG ke final melawan Chelsea, tapi juga membuka kembali bab kelam dalam sejarah hubungan Enrique dan Los Blancos.

Enrique bukan nama asing bagi Real Madrid. Ia pernah membela klub ibu kota selama lima musim pada 1990-an, bahkan turut mengangkat trofi La Liga. Namun, segalanya berubah drastis saat ia memilih bergabung ke Barcelona pada 1996. Sejak itu, sosoknya menjadi simbol pengkhianatan bagi banyak pendukung Madrid.

Advertisement

Kini, dua dekade lebih telah berlalu, tapi luka itu belum sembuh. Di lapangan, Enrique terus menjadi ancaman nyata. Di luar lapangan, ia tetap jadi bayang-bayang yang menghantui kebanggaan Bernabeu.

1 dari 4 halaman

Awal yang Manis, Akhir yang Pahit di Madrid

Luis Enrique datang ke Real Madrid dari Sporting Gijon dengan reputasi sebagai gelandang berbakat. Lima musim berseragam putih memberinya satu gelar La Liga dan banyak momen penting. Ia dikenal sebagai pemain serbabisa, penuh determinasi, dan loyal terhadap peran yang diberikan pelatih.

Namun, loyalitas itu ternyata tak bertahan lama. Di akhir kontraknya, Enrique menolak perpanjangan dan justru menerima pinangan Barcelona. Transfer itu mengejutkan banyak pihak—bukan karena kemampuannya, tapi karena konteks rivalitas Madrid-Barca yang amat panas.

Saat mengenang masa lalunya bersama Los Blancos, Enrique pernah berkata, "sekarang, di TV atau di foto, saya tampak aneh mengenakan putih." Pernyataan itu seakan menghapus masa lima tahunnya di ibu kota dan menegaskan kesetiaannya yang kini beralih ke Catalunya.

2 dari 4 halaman

Legenda di Barcelona, Musuh di Madrid

Delapan musim bersama Barcelona membuat Enrique menjadi sosok penting di Camp Nou. Ia menjelma sebagai kapten, pemimpin, dan penentu di banyak laga besar. Bersama klub rival itu, ia memenangkan tujuh trofi, termasuk dua gelar La Liga dan satu Piala Winners.

Momen paling ikonik—dan paling dibenci oleh publik Bernabeu—tersaji di El Clasico 2003. Enrique mencetak gol penyeimbang dalam hasil imbang 1-1 dan merayakannya dengan menunjukkan kausnya ke arah suporter Madrid. Selebrasi penuh emosi itu menyulut kemarahan seluruh stadion.

“Saya tidak heran semua orang ‘menyoraki’ saya,” ujarnya kepada awak media. “Kalau tak suka cara saya merayakan, jangan datang.” Kalimat itu menjadi pukulan telak bagi publik Madrid—seolah-olah ia sengaja membakar jembatan yang dulu ia lewati.

3 dari 4 halaman

Bentrok Zidane, Emosi Meledak di Bernabeu

Di laga yang sama, drama semakin panas ketika Zinedine Zidane bersitegang dengan Carles Puyol. Enrique yang saat itu menjadi kapten Barcelona langsung turun tangan, beradu argumen dengan Zidane yang kemudian mendorong wajahnya. Adu mulut berlanjut hingga nyaris terjadi baku hantam antar pemain.

Zidane diganjar kartu kuning, sementara Enrique lolos dari kartu kuning kedua meski sudah mendapat peringatan lebih dulu. Peristiwa itu makin memperburuk citra Enrique di mata Madridistas—sosok yang dianggap pengkhianat kini juga menjadi provokator di rumah sendiri.

Mantan presiden Real Madrid, Lorenzo Sanz, tak menahan kritiknya, "itu provokasi dari pemain yang, omong-omong, dibayar sangat mahal. Pernyataannya menyedihkan." Kata-kata itu memperlihatkan betapa dalamnya rasa sakit yang ditinggalkan Enrique.

4 dari 4 halaman

Membalas Lewat Trofi: Dari Camp Nou ke Paris

Setelah pensiun pada usia 34 tahun, Enrique kembali ke Barcelona sebagai pelatih dan langsung mencatat sejarah. Musim pertamanya ditutup dengan treble La Liga, Copa del Rey, dan Liga Champions. Ia juga mampu menaklukkan Real Madrid dalam empat dari delapan El Clasico yang dipimpinnya.

Prestasi itu ia lanjutkan di Prancis. Sejak ditunjuk sebagai pelatih PSG pada 2023, Enrique membawa klub ibu kota itu meraih treble perdana dan kini mencapai final Piala Dunia Antarklub setelah mengalahkan Real Madrid tanpa ampun.

Apa pun warna bajunya, satu hal pasti, Luis Enrique tak pernah kehilangan rasa lapar untuk menang. Ia adalah mimpi buruk bagi Madrid, bukan karena dendam, tapi karena ia tahu betul bagaimana melukai klub yang dulu pernah mempercayainya.

Sumber: talkSPORT

LATEST UPDATE