
Bola.net - Stadio Olimpico Roma bisa menjadi saksi akhir sebuah penantian panjang ketika AC Milan menghadapi Bologna pada final Coppa Italia 2024/2025. Ini bukan sekadar duel memperebutkan trofi, tapi panggung bagi Milan untuk mengulang kisah manis dua dekade silam. Sebab, terakhir kali Rossoneri merengkuh Coppa Italia, itu terjadi pada musim penuh kejayaan: 2002/2003.
Kala itu, meski finis peringkat tiga di Serie A, Milan tetap merayakan gelar domestik. Selain itu, mereka juga mengangkat Si Kuping Besar di langit Manchester, menaklukkan Eropa dalam final sesama wakil Italia. Musim tersebut dikenang sebagai musim dua mahkota—domestik dan kontinental.
Kini, menjelang final Coppa Italia ke-15 dalam sejarah klub, kenangan 2003 menyeruak kembali. Sebuah pengingat akan era ketika strategi brilian dan kedalaman skuad membawa Milan ke puncak ganda kejayaan.
Fondasi Musim Emas
Musim 2002/2003 adalah fondasi awal kebangkitan Milan setelah puasa gelar sejak 1999. Manajemen klub mendatangkan nama-nama besar seperti Alessandro Nesta, Clarence Seedorf, Rivaldo, dan Jon Dahl Tomasson. Mereka memperkuat fondasi skuad yang sudah memiliki Andriy Shevchenko, Filippo Inzaghi, serta kiper tangguh Dida.
Alessandro Nesta menjadi jangkar lini belakang, memberikan kestabilan dan ketenangan. Seedorf, yang direkrut dari Inter, menyuntikkan energi baru di lini tengah bersama Gennaro Gattuso dan Andrea Pirlo. Sementara itu, Rivaldo, meski tak bersinar di Serie A, berperan penting dalam perjalanan Milan di Liga Champions.
Carlo Ancelotti pun memperkenalkan formasi 4-4-2 diamond yang inovatif. Pirlo sebagai regista, Rui Costa sebagai trequartista, dan dua gelandang pekerja keras di sisi sayap membuat taktik ini sulit dibaca lawan. Formasi ini menjadi senjata utama dalam perjalanan Milan meraih dua gelar prestisius.
Menguasai Coppa Italia
Perjalanan menuju gelar Coppa Italia 2003 diakhiri dengan duel dua leg melawan AS Roma. Di leg pertama yang digelar di Olimpico, Milan tampil beringas dan menang 4-1. Dua gol dari Serginho, serta tambahan dari Ambrosini dan Shevchenko membuka lebar jalan ke trofi.
Di San Siro pada leg kedua, Milan menjaga momentum meski Roma tampil lebih agresif. Skor imbang 2-2 cukup untuk mengunci gelar kelima Coppa Italia dengan agregat 6-3. Ini menjadi pelipur lara setelah sekian lama puasa gelar domestik.
Trofi ini juga mempertegas kualitas skuad Ancelotti. Milan tak hanya tajam di depan, tapi juga tangguh di tengah dan kokoh di belakang. Sebuah tim lengkap yang siap menantang siapa pun, di mana pun.
Malam Magis di Manchester
Puncak musim 2002/2003 terjadi di Old Trafford, saat Milan bertemu Juventus pada final Liga Champions. Laga berjalan ketat, dengan sedikit peluang dan dominasi taktis dari kedua tim. Sebuah gol Shevchenko sempat dianulir, dan tendangan Pirlo hanya membentur mistar.
Ketegangan berlanjut hingga adu penalti setelah skor kacamata bertahan selama 120 menit. Dida tampil sebagai pahlawan dengan menepis tiga eksekusi penalti Juventus. Shevchenko menjadi penentu kemenangan lewat tendangan akhir yang membawa Milan meraih gelar Eropa keenam mereka.
Di tengah emosi, kelelahan, dan tekanan, Milan menunjukkan mental juara sejati. Mereka bukan sekadar tim berbakat, tetapi juga tangguh dalam situasi ekstrem. Malam itu, sejarah ditulis dengan tinta emas.
Warisan yang Tak Terlupakan
Musim 2002/2003 adalah titik balik dalam sejarah modern Milan. Mereka menggabungkan strategi modern dengan kekuatan kolektif dan individu kelas dunia. Carlo Ancelotti pun membuktikan dirinya bukan sekadar legenda di bangku pemain, tapi juga jenius dari sisi lapangan.
Nama-nama seperti Pirlo, Nesta, Seedorf, dan Shevchenko tak hanya memberi gelar, tetapi juga warisan yang terus diingat. Kombinasi pengalaman dan energi muda menjadikan Milan sebagai tim impian banyak penggemar sepak bola. Musim itu membentuk fondasi untuk dominasi mereka di tahun-tahun berikutnya.
Kini, ketika Milan kembali melangkah ke final Coppa Italia, ingatan terhadap 2003 menjadi pemantik semangat. Sebab, sejarah tidak hanya untuk dikenang, tetapi juga untuk diulang—dengan cara yang baru, tapi dengan jiwa yang sama.
Baca Artikel-artikel Menarik Lainnya:
- Trofi di Depan Mata: Alasan AC Milan Layak Dijagokan Memenangi Final Coppa Italia
- Prediksi Real Madrid vs Real Mallorca 15 Mei 2025
- Prediksi AC Milan vs Bologna 15 Mei 2025
- Scudetto Serie A Milik Napoli atau Inter Milan?
- Timnas Brasil vs Real Madrid: Uji Coba Pahit-Manis buat Carlo Ancelotti
- Gaji Selangit Carlo Ancelotti di Timnas Brasil: Rp13,5 Miliar per Bulan!
- AC Milan vs Bologna: Dari San Siro ke Duel di Olimpico
- Kala Tinta di Kertas Bernilai Triliunan: Kontrak-kontrak Termahal Pemain Sepak Bola
- Perlawanan Terakhir Real Madrid
- Ballon d'Or: Medan Pertarungan Abadi Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo
- AC Milan, Bologna, dan Akhir Sebuah Penantian Panjang di Kota Roma
- 2 'Tiket Neraka' Serie A: Jay Idzes dan Perjuangan Menahan Tenggelamnya Venezia
Advertisement
Berita Terkait
-
Tim Nasional 6 September 2025 00:33
Debut Manis Miliano Jonathans, Apresiasi Sananta buat Suporter Timnas Indonesia
LATEST UPDATE
-
Tim Nasional 6 September 2025 03:11
-
Tim Nasional 6 September 2025 02:53
-
Tim Nasional 6 September 2025 01:39
-
Tim Nasional 6 September 2025 01:00
-
Tim Nasional 6 September 2025 00:33
-
Tim Nasional 6 September 2025 00:22
MOST VIEWED
- Edon Zhegrova Resmi Gabung Juventus: Sebuah Mimpi, Ambisi Besar, dan Pesan untuk Bianconeri
- Mengenal David Odogu: Bek Baru AC Milan yang Pernah Angkat Trofi Piala Dunia di Indonesia
- Hasil Perombakan Besar-besaran AC Milan, Hanya Sedikit Pemain Dari Musim Lalu yang Selamat
- Klub Liga Italia Paling Boros di Bursa Transfer Musim Panas 2025: Awas Kaget!
HIGHLIGHT
- Eberechi Eze
- 7 Pemain yang Pernah Disejajarkan dengan Lionel Me...
- 9 Transfer yang Direbut Klub Lain: Eze, Willian, H...
- Eberechi Eze Menyusul? 5 Pemain yang Lebih Memilih...
- 5 Manajer Premier League yang Paling Berisiko Dipe...
- 4 Pemain Bebas Transfer yang Bisa Direkrut Real Ma...
- 3 Klub Premier League yang Bisa Rekrut Gianluigi D...