Tok! DJP Resmi Tunjuk Pemilik ChatGPT Jadi Pemungut Pajak Digital

Tok! DJP Resmi Tunjuk Pemilik ChatGPT Jadi Pemungut Pajak Digital
Logo OpenAI terlihat di layar ponsel dengan latar gambar di layar komputer yang dihasilkan oleh model teks-ke-gambar Dall-E dari ChatGPT. (c) AP Photo/Michael Dwyer

Bola.net - Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan resmi memperluas basis pemungutan pajak ke sektor kecerdasan buatan. Langkah strategis ini menargetkan entitas teknologi global yang tengah naik daun demi mengamankan penerimaan negara.

Pada November 2025, otoritas pajak telah menunjuk tiga perusahaan digital baru sebagai pemungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Salah satu nama besar yang masuk dalam daftar tersebut adalah pemilik chatbot populer, OpenAI OpCo LLC.

Hingga akhir bulan lalu, total setoran dari sektor usaha ekonomi digital tercatat telah menembus angka Rp44,55 triliun. Angka signifikan ini merupakan akumulasi dari berbagai pos penerimaan, mulai dari e-commerce hingga aset kripto.

Rincian kontribusi dari setiap sektor digital ini menggambarkan pergeseran pola ekonomi masyarakat yang makin modern. Berikut adalah ulasan lengkap mengenai realisasi penerimaan pajak digital dan entitas baru yang ditunjuk pemerintah.

1 dari 3 halaman

Mengejar Potensi Pajak AI

Penunjukan OpenAI sebagai pemungut pajak menandai babak baru dalam ekstensifikasi pajak digital di Indonesia. Selain perusahaan pembesut ChatGPT tersebut, DJP juga menunjuk International Bureau of Fiscal Documentation dan Bespin Global.

Dengan penambahan tiga entitas ini, pemerintah secara total telah menetapkan 254 perusahaan sebagai pemungut PPN Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE). Namun, dalam periode yang sama, DJP juga mencabut status pemungut pajak dari Amazon Services Europe S.a.r.l.

Langkah menyasar perusahaan teknologi mutakhir ini bukan tanpa alasan yang kuat bagi fiskus. Pemanfaatan teknologi seperti AI yang makin masif dinilai harus memberikan kontribusi balik bagi pendapatan negara.

"Penunjukan pemungut PPN PMSE pada perusahaan yang bergerak di bidang artificial intelligence (AI) menunjukkan bahwa ekonomi digital semakin memberikan manfaat nyata bagi masyarakat, khususnya dalam mendukung penerimaan negara," ujar Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Rosmauli, dalam keterangan tertulis, Senin (29/12/2025).

2 dari 3 halaman

Tren Setoran PPN Terus Menanjak

Dari total 254 perusahaan yang ditunjuk, sebanyak 215 pelaku usaha telah aktif menyetorkan pungutan pajaknya ke kas negara. Hingga 30 November 2025, realisasi setoran PPN PMSE ini mencapai angka fantastis sebesar Rp34,54 triliun.

Kinerja penyetoran pajak dari sektor ini menunjukkan tren pertumbuhan yang konsisten dari tahun ke tahun. Pada tahun 2025 saja, setoran yang masuk sudah mencapai Rp9,19 triliun, melampaui capaian tahun-tahun sebelumnya.

Sebagai perbandingan historis, setoran pada tahun 2020 tercatat hanya Rp731,4 miliar dan melonjak menjadi Rp3,9 triliun pada 2021. Angka ini terus mendaki ke level Rp5,51 triliun pada 2022, Rp6,76 triliun pada 2023, dan Rp8,44 triliun pada 2024.

"Dari seluruh pemungut yang telah ditunjuk, sebanyak 215 PMSE telah melakukan pemungutan dan penyetoran PPN PMSE dengan total sebesar Rp 34,54 triliun," tegas Rosmauli.

3 dari 3 halaman

Kontribusi Kripto dan Fintech

Selain dari PPN PMSE, kas negara juga dipertebal oleh penerimaan pajak dari transaksi aset kripto yang mencapai Rp1,81 triliun. Komponen ini terdiri dari PPh Pasal 22 sebesar Rp932,06 miliar dan PPN Dalam Negeri senilai Rp875,23 miliar.

Sektor teknologi finansial atau peer-to-peer lending (fintech) juga mencatatkan kontribusi positif sebesar Rp4,27 triliun hingga November 2025. Penerimaan ini mencakup PPh 23 dan PPh 26 atas bunga pinjaman, serta PPN Dalam Negeri atas setoran masa.

Di sisi lain, pajak yang dipungut melalui Sistem Informasi Pengadaan Pemerintah (SIPP) turut menyumbang Rp3,94 triliun. Nominal tersebut berasal dari akumulasi PPh Pasal 22 dan PPN yang terus dipantau oleh pemerintah.

Perlu diketahui, pelaku usaha digital wajib menjadi pemungut jika nilai transaksinya di Indonesia melebihi Rp600 juta setahun atau Rp50 juta sebulan. Kriteria lainnya adalah jumlah akses atau traffic melebihi 12.000 dalam setahun atau 1.000 pengakses dalam satu bulan.