Studi Ilmiah: Menikmati Ragam Kuliner Dunia Dapat Menumbuhkan Sikap Toleran

Studi Ilmiah: Menikmati Ragam Kuliner Dunia Dapat Menumbuhkan Sikap Toleran
Gambar ilustrasi makanan (c) AI/ChatGPT

Bola.net - Globalisasi membuat berbagai budaya dan kuliner dari mancanegara semakin mudah ditemukan di banyak negara. Fenomena ini menjadi salah satu cara penting untuk menghargai perbedaan dan memperkuat rasa saling menghormati antarindividu.

Sebuah studi yang melibatkan lebih dari 1.000 orang dewasa kulit putih di Inggris mendukung temuan dari Universitas Birmingham dan Universitas Munich. Penelitian tersebut meneliti bagaimana interaksi seseorang terhadap komunitas imigran dengan melihat kebiasaan mereka menikmati kuliner dari berbagai negara, seperti India, Turki, Tiongkok, Thailand, Karibia, dan Spanyol.

Hasil riset yang dikutip dari The Guardian, Senin (13/10/2025), menunjukkan bahwa semakin sering seseorang mencoba makanan dari luar negeri, semakin tinggi pula tingkat toleransi serta penerimaan mereka terhadap imigran.

Sikap tersebut menjadi indikator bahwa mereka memiliki pandangan pro-imigran, baik terhadap komunitas Afrika-Karibia, Eropa, maupun Asia. Selain itu, mereka juga cenderung tidak mendukung politisi atau kebijakan anti-imigrasi, serta lebih jarang menganggap imigran sebagai ancaman terhadap budaya dan ekonomi lokal.

1 dari 3 halaman

Jejak Kuliner dari Berbagai Negara

Restoran India pertama di Inggris, Hindoostane Coffee House, dibuka pada tahun 1810 oleh Dean Mahomed. Kehadirannya menjadi awal masuknya pengaruh kuliner Asia Selatan ke Eropa.

Sementara itu, masakan Tionghoa mulai dikenal masyarakat Inggris melalui penjual makanan bergaya Victoria di jalan-jalan kecil Liverpool dan Limehouse, London Timur. Awalnya, kedai-kedai tersebut melayani para pelaut Tionghoa sebelum akhirnya populer setelah dibukanya Restoran Cathay di kawasan West End pada 1907–1908.

Gelombang imigrasi dari generasi Windrush juga membawa cita rasa Karibia ke Inggris. Mereka memperkenalkan roti hardo dan patty yang terinspirasi dari pastry khas Cornish, serta hidangan seperti kari kambing, nasi dan kacang polong, hingga ayam jerk.

Seiring waktu, keberagaman kuliner tersebut berkembang pesat dan membentuk selera masyarakat Inggris. Menu seperti kebab asal Turki, pho dari Vietnam, kedgeree dari masa British Raj, es krim “penny lick” era Victoria dari Little Italy di Manchester, hingga ikan goreng tepung yang diperkenalkan komunitas Yahudi Sephardi, menjadi bagian dari warisan kuliner yang memperkaya Inggris.

2 dari 3 halaman

Restoran Sebagai Ruang Kebersamaan

Menurut Dr. Rodolfo Leyva dari Universitas Birmingham, yang juga penulis utama studi ini, restoran dan kedai makanan berperan penting sebagai ruang sosial yang mempertemukan berbagai latar belakang budaya.

"Restoran atau kedai makanan cenderung menawarkan lingkungan yang ramah dan memfasilitasi interaksi alami antara masyarakat lokal dengan komunitas imigran," ujarnya.

"Tidak seperti museum atau konser yang mungkin memerlukan minat khusus, semua orang yang makan dapat saling bertukar pendapat atau memberikan respons terkait rasa yang baru pertama kali dicobanya," lanjutnya lagi.

Meski pendidikan tetap menjadi faktor utama dalam menumbuhkan pemahaman terhadap budaya asing, makanan juga terbukti memiliki peran besar dalam membangun empati sosial.

Laporan studi tersebut menegaskan bahwa para penjual makanan berfungsi sebagai jembatan lintas budaya, mempertemukan masyarakat lokal dengan komunitas imigran. Melalui pengalaman mencoba hidangan baru, muncul emosi positif yang perlahan mengubah cara pandang seseorang terhadap kelompok lain.

3 dari 3 halaman

Strategi Penguatan Budaya

Pemerintah Partai Buruh di Inggris kini tengah menyusun strategi baru untuk memperkuat kohesi sosial.

Para peneliti turut mendukung dengan memberikan saran jika makanan sebaiknya digunakan sebagai alat membangun komunitas yang lebih inklusif.

Misalnya dengan mengadakan uji rasa makanan lintas budaya di sekolah, memberikan hibah dan insentif pajak bagi bisnis kuliner etnik, serta meluncurkan kampanye pariwisata yang menonjolkan keberagaman kuliner.

Studi mengenai potensi yang menikmati kuliner global juga didasarkan pada teori kontak antarkelompok, yang berjudul "Breaking Bread: Investigating the Role of Ethnic Food in Potentiating Outgroup Tolerance."

Konsep ini berasal dari psikologi sosial, yang menegaskan bahwa interaksi positif antarindividu dari kelompok berbeda dapat mengurangi prasangka sosial.

Karena itu, makanan internasional dianggap mampu menumbuhkan sikap toleran sekaligus mempererat hubungan positif lintas budaya.

Sumber: Liputan6, Fanny Marizka

Lagidiskon